Ingat, berita soal laporan dugaan KDRT yang pernah dialami oleh seorang artis? Saya sempat mengacungkan jempol terhadap langkah berani yang diambil si artis perempuan itu. Namun, ternyata tindak pidana tersebut berakhir dengan pecabutan berkas perkara karena dikabarkan keduanya damai.
Ya, itu sebenarnya pilihan sih. Dalam UU 23 / 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, KDRT merupakan kekerasan di ruang lingkup rumah tangga yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Jadi, KDRT itu tidak harus kekerasan fisik saja ya.
Masalahnya sebagian besar perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sering kali enggan untuk mengungkap kekerasan tersebut. Bahkan tidak jarang juga mereka tidak paham bahwa yang dialaminya adalah kekerasan.
Lalu, langkah apa yang bisa ditempuh apabila mengalami kekerasan?
Langkah yang Bisa Ditempuh Saat Mengalami KDRT
Sebelum memilih diselesaikan dengan jalur pidana atau perdata, pastikan dulu alat bukti memang kuat dan ada. Bagaimana mengumpulkan alat bukti? Alat bukti bisa dilakukan dengan:
- Langsung melakukan visum apabila mengalami kekerasan
- Kumpulkan bukti berupa foto, vidio, dan rekaman suara
- Minta catatan psikolog terkait kondisi psikologis yang dialami
- Kumpulkan keterangan saksi yang melihat dan mendengar langsung peristiwa yang dialami
Kalau alat bukti sudah terkumpul, kita ukur nih. Seberapa kuat diajukan di ranah pidana dan seberapa kuat pula diajukan di ranah perdata. Apa aja sih, kekurangan dan kelebihan jalur ini? Oke, saya jelaskan.
Penyelesaian Secara Perdata
Penyelesesaian secara perdata ini pada umumnya dilakukan dengan mengajukan gugatan cerai ke Pangadilan. Kelebihan menyelesaikan kasus KDRT dengan bercerai saja ini lebih ringkas. Karena hanya mengajukan gugatan, membuktikan adanya KDRT atau perselisihan dalam rumah tangga. Kemudian sudah putus tidak ada ikatan lagi dengan pasangan.
Namun, menyelesaikan masalah KDRT dengan cerai saja tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku. Disini seolah, KDRT akan selesai hanya ddengan dibiarkan saja. Sebenarnya jika terlebih dahulu mengajukan laporan KDRT dan setelah putusan beru mengajukan cerai, selain pelaku mendapat hukuman penjara juga bisa diajukan gugatan ganti rugi atas kekerasan yang dialami. Jadi dobel-dobel kan hukumannya.
Memang banyak yang memiliki menyelesaikan KDRT dengan jalan bercerai saja tanpa proses pidana. Hal ini dikarenakan, proses pidana akan panjang dan jika akhirnya pasangan di penjara juag tidak tega. Bagaimanapun juga, jika Suami dan Isteri bercerai tetap harus memberi nafkah anak. Jika suami dipenjara, bagaimana bisa memberikan nafkah anak?
Penyelesaian Masalah Secara Pidana
Dari alat bukti yang sudah dipegang, KDRT bisa dilaporkan secara Pidana. Teman-teman bisa datang di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak polres setempat kemudian membuat aduan. Berkas selanjutnya akan ddiproses polisi hingga naik kejaksaan dan diputus pengadilan.
Kelebihan dari penyelesaian masalah ini ya pastinya memberikan efek jera pada pelaku. Sebagai percontohan di masyarakat, bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukanlah kejahatan biasa. Sedangkan kekurangannya ya memang ketika pelaku ddipenjara saja, tidak akan membuat ikatan perkawinan menjadi putrus.
Adapun pasal-pasal untuk menjerat pelaku KDRT yang diatur dalam UU 23 / 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga antara lain:
Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
- menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
- menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Kesimpulan
KDRT, baiknya cerai aja atau dilaporkan pidana ya? Nah, saya sudah jabarkan nih kekeruangan dan kelebihan masing-masing. Tinggal teman-teman mempertimbangkan saja solusi yang paling tepat dan sesuai. Semoga membantu. Kalau masih kurang jelas, boleh ditanyakan di kolom komentar atau konsultasi langsung.